Wednesday, 23 September 2015

PEMAHAMAN TENTANG QURBAN KELIRU, INI PENJELASAN SYEIKH ALI JABER

PEMAHAMAN TENTANG QURBAN KELIRU, INI PENJELASAN SYEIKH ALI JABER

Syeikh Ali Jaber meluruskan beberapa pemahaman yang keliru tentang tata cara pelaksanaan ibadah Qurban. Ada tiga hal yang beliau sorot yaitu tentang jumlah qurban per-orang, memakan daging qurban dan pembayaran ongkos penyembelihan dengan kulit hewan qurban.


1. Jumlah qurban

Persoalan pertama yang beliau luruskan adalah tentang jumlah qurban. Ada pemahaman yang berkembang di masyarakat, satu orang wajib berkurban dengan satu ekor kambing. Apabila dalam sebuah keluarga ada lima orang anak, maka menjadi genap tujuh orang sehingga wajib berkurban dengan 1 ekor sapi (konversi dari 7 ekor kambing). Jika tidak mampu, maka bisa berqurban dengan kambing dahulu, misal tahun ini mampu 1 ekor kambing atas nama istri, tahun depan atas nama anak, demikian seterusnya hingga seluruh anggota keluarga sudah dijatah per 1 ekor kambing.

"Ini hal keliru! Qurban berbeda dengan Aqiqah dan Zakat Fitrah yang dihitung perorang. Qurban hitungannya perkeluarga bukan perorang. Ketika nabi Ibrahim AS hendak sembelih Ismail, diganti dengan 1 ekor kambing oleh Allah SWT, padahal Ibrahim beserta 2 istri dan 2 anak harusnya lima ekor. Demikian juga Nabi Muhammad SAW, berkurban dengan 2 kambing. Pada kambing pertama beliau berkata 'Bismillah atas nama Muhammad dan keluarga Muhammad'. Lalu pada kambing kedua beliau berkata 'Atas namaku dan ummatku'. Padahal berapa jumlah istri dan anak serta umat beliau?" kata Syeikh Ali menjelaskan.

"Kewajiban itu tidak lebih dari 1 ekor kambing. Jika mampu 1 sapi atau 1000 sapi silahkan, karena tidak ada larangan atas kemampuan. Misalnya seorang bapak dengan seorang anak berqurban dengan 1 kambing, sah. Dengan 1 sapi silahkan. Seorang bapak dengan 4 orang istri dan masing-masing 10 orang anak hendak berqurban, wajib dengan 1 kambing saja untuk 45 orang sekeluarga. Jika mampu 1000 kambing atau 1000 sapi, boleh, silahkan," lanjut Syeikh menambahkan penjelasannya.

Tentang nama-nama yang disebut saat penyembelihan, Syeikh Ali mengatakan tidak ada kewajiban atas hal tersebut. Karena hakikatnya menyebut atas nama keluarga sudah mencakup seluruh anggota keluarga termasuk orang tua yang sudah meninggal dunia.

"Bismillah atas namaku dan keluarga. Tidak perlu membawa nama-nama. Atas namaku dan keluarga sudah termasuk orang tua yang meninggal. Ada


Sebagian ulama membolehkan, kalau kita mampu dan mau khusus, kambing atas nama orang tua, tidak masalah. Kalau tidak mampu, maka 1 ekor sudah termasuk keluarga dan orang tua kita. Ini adalah salah satu sedekah yang berguna bagi orang tua yang meninggal di keluarga kita,"


2. Makan daging qurban

Persoalan kedua yang beliau sorot adalah sunnah yang mulai hilang yaitu banyak yang tidak mau makan dari hasil qurban. Sebagian besar masyakarat tidak mau memakan daging qurban dengan alasan ingin disedekahkan semua untuk fakir miskin.

"Padahal ini adalah sunnah Rasul seperti dalam aqiqah. Rasululullah membagi qurban menjadi tiga, pertama dihadiahkan kepada orang kaya untuk silaturrahim, kedua disedekahkan untuk orang miskin, dan yang ketiga untuk diri sendiri. Bahkan Rasulullah SAW sebelum shalat 'Ied berpuasa, lalu membatalkannya sesudah shalat dari hasil sembelihan hewan qurban," kata Syeikh Ali.

Beliau menekankan bahwa daging qurban yang ingin disedekahkan semua tidak masalah, namun mengajak jamaah agar sesekali menghidupkan sunnah Rasul dengan memakan daging qurban.


3. Pembayaran dengan kulit dan kepala

Persoalan ketiga yang beliau sorot adalah maraknya pembayaran ongkos penyembelihan hewan qurban dengan kulit dan kepala, padahal tidak dibenarkan.

"Tidak boleh pembayaran hasil sembelihan dari kulitnya. Banyak tukang sembelih datang, ketika kita tawarkan untuk sembelih dan tanya berapa, 'ndak papa kasi aja kulitnya sama kepalanya'. Jangan anda setuju dan terima," kata beliau menegaskan.

"Qurban itu lillahi ta'ala bukan jual beli. Kalau sudah dijual berarti bukan qurban karena tidak lillahi ta'ala," tambahnya.

Beliau memberikan jalan keluar dengan terlebih dahulu menjelaskan akad awal dengan tukang sembelih terutama berapa ongkos atau biaya yang diminta. Sedangkan kulit dan kepala bisa diberikan sebagai hadiah.

"Ijab kabul. Tentukan, misal ongkos sembelihan 50 ribu. Jika setuju, selesai! Jika sesudah penyembelihan kita berikan ongkosnya dan tambahkan kulit dan kepala sebagai hadiah, tidak masalah. Tetapi bukan untuk bayar sembelihan. Jadi harus dibedakan," kata beliau.

Beliau juga menegaskan bahwa amalan ibadah qurban bisa tidak diterima Allah, jika sebagian dari hasil sembelihan dijadikan pembayaran atau ongkos.

Syeikh Ali Saleh Muhammad Ali Jaber, adalah salah seorang Imam di Mesjid Nabawi, Madinah. Beliau menyelesaikan 30 juz hafalan Al-Qur'an pada usia 11 tahun di Madinah. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan mengaji kepada para Syeikh di Mesjid Nabawi.

(sumber : okezone.com)

PEMAHAMAN TENTANG QURBAN KELIRU, INI PENJELASAN SYEIKH ALI JABER

PEMAHAMAN TENTANG QURBAN KELIRU, INI PENJELASAN SYEIKH ALI JABER

Syeikh Ali Jaber meluruskan beberapa pemahaman yang keliru tentang tata cara pelaksanaan ibadah Qurban. Ada tiga hal yang beliau sorot yaitu tentang jumlah qurban per-orang, memakan daging qurban dan pembayaran ongkos penyembelihan dengan kulit hewan qurban.


1. Jumlah qurban

Persoalan pertama yang beliau luruskan adalah tentang jumlah qurban. Ada pemahaman yang berkembang di masyarakat, satu orang wajib berkurban dengan satu ekor kambing. Apabila dalam sebuah keluarga ada lima orang anak, maka menjadi genap tujuh orang sehingga wajib berkurban dengan 1 ekor sapi (konversi dari 7 ekor kambing). Jika tidak mampu, maka bisa berqurban dengan kambing dahulu, misal tahun ini mampu 1 ekor kambing atas nama istri, tahun depan atas nama anak, demikian seterusnya hingga seluruh anggota keluarga sudah dijatah per 1 ekor kambing.

"Ini hal keliru! Qurban berbeda dengan Aqiqah dan Zakat Fitrah yang dihitung perorang. Qurban hitungannya perkeluarga bukan perorang. Ketika nabi Ibrahim AS hendak sembelih Ismail, diganti dengan 1 ekor kambing oleh Allah SWT, padahal Ibrahim beserta 2 istri dan 2 anak harusnya lima ekor. Demikian juga Nabi Muhammad SAW, berkurban dengan 2 kambing. Pada kambing pertama beliau berkata 'Bismillah atas nama Muhammad dan keluarga Muhammad'. Lalu pada kambing kedua beliau berkata 'Atas namaku dan ummatku'. Padahal berapa jumlah istri dan anak serta umat beliau?" kata Syeikh Ali menjelaskan.

"Kewajiban itu tidak lebih dari 1 ekor kambing. Jika mampu 1 sapi atau 1000 sapi silahkan, karena tidak ada larangan atas kemampuan. Misalnya seorang bapak dengan seorang anak berqurban dengan 1 kambing, sah. Dengan 1 sapi silahkan. Seorang bapak dengan 4 orang istri dan masing-masing 10 orang anak hendak berqurban, wajib dengan 1 kambing saja untuk 45 orang sekeluarga. Jika mampu 1000 kambing atau 1000 sapi, boleh, silahkan," lanjut Syeikh menambahkan penjelasannya.

Tentang nama-nama yang disebut saat penyembelihan, Syeikh Ali mengatakan tidak ada kewajiban atas hal tersebut. Karena hakikatnya menyebut atas nama keluarga sudah mencakup seluruh anggota keluarga termasuk orang tua yang sudah meninggal dunia.

"Bismillah atas namaku dan keluarga. Tidak perlu membawa nama-nama. Atas namaku dan keluarga sudah termasuk orang tua yang meninggal. Ada


Sebagian ulama membolehkan, kalau kita mampu dan mau khusus, kambing atas nama orang tua, tidak masalah. Kalau tidak mampu, maka 1 ekor sudah termasuk keluarga dan orang tua kita. Ini adalah salah satu sedekah yang berguna bagi orang tua yang meninggal di keluarga kita,"


2. Makan daging qurban

Persoalan kedua yang beliau sorot adalah sunnah yang mulai hilang yaitu banyak yang tidak mau makan dari hasil qurban. Sebagian besar masyakarat tidak mau memakan daging qurban dengan alasan ingin disedekahkan semua untuk fakir miskin.

"Padahal ini adalah sunnah Rasul seperti dalam aqiqah. Rasululullah membagi qurban menjadi tiga, pertama dihadiahkan kepada orang kaya untuk silaturrahim, kedua disedekahkan untuk orang miskin, dan yang ketiga untuk diri sendiri. Bahkan Rasulullah SAW sebelum shalat 'Ied berpuasa, lalu membatalkannya sesudah shalat dari hasil sembelihan hewan qurban," kata Syeikh Ali.

Beliau menekankan bahwa daging qurban yang ingin disedekahkan semua tidak masalah, namun mengajak jamaah agar sesekali menghidupkan sunnah Rasul dengan memakan daging qurban.


3. Pembayaran dengan kulit dan kepala

Persoalan ketiga yang beliau sorot adalah maraknya pembayaran ongkos penyembelihan hewan qurban dengan kulit dan kepala, padahal tidak dibenarkan.

"Tidak boleh pembayaran hasil sembelihan dari kulitnya. Banyak tukang sembelih datang, ketika kita tawarkan untuk sembelih dan tanya berapa, 'ndak papa kasi aja kulitnya sama kepalanya'. Jangan anda setuju dan terima," kata beliau menegaskan.

"Qurban itu lillahi ta'ala bukan jual beli. Kalau sudah dijual berarti bukan qurban karena tidak lillahi ta'ala," tambahnya.

Beliau memberikan jalan keluar dengan terlebih dahulu menjelaskan akad awal dengan tukang sembelih terutama berapa ongkos atau biaya yang diminta. Sedangkan kulit dan kepala bisa diberikan sebagai hadiah.

"Ijab kabul. Tentukan, misal ongkos sembelihan 50 ribu. Jika setuju, selesai! Jika sesudah penyembelihan kita berikan ongkosnya dan tambahkan kulit dan kepala sebagai hadiah, tidak masalah. Tetapi bukan untuk bayar sembelihan. Jadi harus dibedakan," kata beliau.

Beliau juga menegaskan bahwa amalan ibadah qurban bisa tidak diterima Allah, jika sebagian dari hasil sembelihan dijadikan pembayaran atau ongkos.

Syeikh Ali Saleh Muhammad Ali Jaber, adalah salah seorang Imam di Mesjid Nabawi, Madinah. Beliau menyelesaikan 30 juz hafalan Al-Qur'an pada usia 11 tahun di Madinah. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan mengaji kepada para Syeikh di Mesjid Nabawi.

(sumber : okezone.com)

Sunday, 20 September 2015

ISTRI DIPAKSA MENIKAH TANPA CINTA, LAKI-LAKI INI BERSABAR TAK SENTUH ISTRINYA

ISTRI DIPAKSA MENIKAH TANPA CINTA, LAKI-LAKI INI BERSABAR TAK SENTUH ISTRINYA

Siapkan tisyu untuk membacanya..

Seorang akhwat menceritakan kenangan masa lalunya yang tak terlupakan:

“Namaku Mariani, orang-orang biasa memangilku Aryani. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum lengkang dalam benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Yah, sebuah perjalanan kisah yang sungguh aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa di dunia ini mungkin tak ada lagi orang seperti dia.

Tahun 2007 silam, aku dipaksa orang tuaku menikah dengan seorang pria, Kak Arfan namanya. Kak Arfan adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung denganku, tapi dia seleting dengan kakakku saat sekolah dulu. Usia kami terpaut 4 Tahun. Yang aku tahu bahwa sejak kecilnya Kak Arfan adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadah. Tabiatnya yang seperti itu terbawa-bawa sampai ia dewasa. Aku  merasa risih sendiri dengan Kak Arfan apabila berpapasan di jalan, sebab sopan santunnya sepertinya terlalu berlebihan pada orang-orang. Geli aku menyaksikannya, yah, kampungan banget gelagatnya…,

Setiap ada acara-acara ramai di kampung pun Kak Arfan tak pernah kelihatan bergabung sama teman-teman seusianya. Yaah, pasti kalau dicek ke rumahnya pun gak ada, orang tuanya pasti menjawab “Kak Arfan di mesjid nak, menghadiri taklim”. Dan memang mudah sekali mencari Kak Arfan, sejak lulus dari Pesantren Al-Khairat Kota Gorontalo.

Kak Arfan sering menghabiskan waktunya membantu orang tuanya jualan, kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Meskipun kadang sebagian teman sebayanya menyayangkan potensi dan kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan. Secara fisik memang Kak Arfan hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Sebab kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau Kak Arfan dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara di desa.

Tapi bagiku sendiri, itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa sosok Kak Arfan adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri taklim, kuper dan kampungan banget. Kadang hatiku sendiri bertanya, koq bisa yah, ada orang yang sekolah di kota namun begitu kembali tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaan melekat pada dirinya, HP gak ada. Selain bantu orang tua, pasti kerjanya ngaji, sholat, taklim dan kembali ke kerja lagi. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja, ke biosokop kek, ngumpul bareng teman-teman kek setiap malam minggunya di pertigaan kampung yang ramainya luar biasa setiap malam minggu dan malam Kamisnya. Apalagi setiap malam Kamis dan malam Minggunya ada acara curhat kisah yang TOP banget di sebuah station Radio Swasta digotontalo, kalau tidak salah ingat nama acaranya Suara Hati dan nama penyiarnya juga Satrio Herlambang.

Waktu terus bergulir dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata Pacaran, akupun demikian. Aku sendiri memiliki kekasih yang begitu sangat aku cintai, namanya Boby. Masa-masa indah kulewati bersama Boby. Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami. Hingga musibah itu tiba, aku dilamar oleh seorang pria yang sudah sangat aku kenal. Yah siapa lagi kalau bukan si kuper Kak Arfan lewat pamanku. Orang tuanya Kak Arfan melamarku untuk anaknya yang kampungan itu.

Mendengar penuturan mama saat memberitahu padaku tentang lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening…, aku berteriak sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu dengan tegas dan terbelit-belit aku sampaikan langsung pada kedua orang tuaku bahwa aku menolak lamaran keluarganya Kak Arfan. dan dengan terang-terangan pula aku sampaikan pula bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby.

Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh tersungkur kelantai. Akupun tak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat mama shock. Baru kutahu bahwa yang menyebabkan mama shok itu karena beliau sudah menerima secara resmi lamaran dari orang tuanya Kak Arfan. Hatiku sedih saat itu, kurasakan dunia begitu kelabu. Aku seperti menelan buah simalakama, seperti orang yang paranoid, tidak tahu harus ikut kata orang tua atau lari bersama kekasih hatiku Boby.
Hatiku sedih saat itu. Dengan berat hati dan penuh kesedihan aku menerima lamaran Kak Arfan untuk menjadi istrinya dan kujadikan malam terakhir perjumpaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan kesedihanku. Meskipun kami saling mencintai, tapi mau tidak mau Boby harus merelakan aku menikah dengan Kak Arfan. Karena dia sendiri mengakui bahwa dia belum siap membina rumah tangga saat itu.

Tanggal 11 Agustus 2007 akhirnya pernikahanku pun digelar. Aku merasa bahwa pernikahan itu begitu menyesakkan dadaku. Air mataku tumpah di malam resepsi pernikahan itu. Di tengah senyuman orang-orang yang hadir pada acara itu, mungkin akulah yang paling tersiksa. Karena harus melepaskan masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai. Dan yang paling membuatku tak bisa menahan air mataku, mantan kekasihku Boby hadir juga pada resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah mengapa semua ini harus terjadi padaku ya Allah… mengapa aku yang harus jadi korban dari semua ini?

Waktu terus berputar dan malam pun semakin merayap. Hingga usailah acara resepsi pernikahan kami. Satu per satu para undangan pamit pulang hingga sepi lah rumah kami. Saat masuk ke dalam kamar, aku tidak mendapati suamiku Kak Arfan di dalamnya. Dan sebagai seorang istri yang hanya terpaksa menikah dengannya, maka aku pun membiarkannya dan langsung membaringkan tubuhku setalah sebelumnya menghapus make-up pengantinku dan melepaskan gaun pengantinku. Aku bahkan tak perduli kemana suamiku saat itu. Karena rasa capek dan diserang kantuk, aku pun akhirnya tertidur.

Tiba-tiba di sepertiga malam, aku tersentak tatkala melihat ada sosok hitam yang berdiri disamping ranjang tidurku. Dadaku berdegup kencang. Aku hampir saja berteriak histeris, andai saja saat itu tak kudengar suara  takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri itu. Perlahan kuperhatikan dengan seksama, ternyata sosok yang berdiri di sampingku itu adalah Kak Arfan suamiku yang sedang sholat tahajud. Perlahan aku baringkan tubuhku sambil membalikkan diriku membelakanginya yang saat itu sedang sholat tahajud. Ya Allah aku lupa bahwa sekarang aku telah menjadi istrinya Kak Arfan. Tapi meskipun demikian, aku masih tak bisa menerima kehadirannya dalam hidupku. Saat itu karena masih dibawah perasan ngantuk, aku pun kembali teridur. Hingga pukul 04.00 dini hari, kudapati suamiku sedang tidur beralaskan sajadah di bawah ranjang pengantin kami.

Dadaku kembali berdetak kencang kala mendapatinya. Aku masih belum percaya kalau aku telah bersuami. Tapi ada sebuah pertanyaaan terbetik dalam benakku. Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku. Kalaupun dia belum ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang denganku itukan logikanya. Ada apa ini? ujarku perlahan dalam hati. Aku sendiri merasa bahwa mungkin malam itu Kak Arfan kecapekan sama sepertiku sehingga dia tidak mendatangiku dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi apa peduliku dengan itu semua, toh akupun tidak menginginkannya, gumamku dalam hati.

Hari-hari terus berlalu. Kami pun mejalani aktifitas kami masing-masing, Kak Arfan bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan aku di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku. Yah minimal menyediakan makanannya, meskipun kenangan-kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku, aku bahkan masih merindukannya.

Semula kufikir bahwa prilaku Kak Arfan yang tidak pernah menyentuhku dan menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi malam pernikahan kami. Tapi ternyata yang terjadi hampir setiap malam sejak malam pengantin itu, Kak Arfan selalu tidur beralaskan permadani di bawah ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar kami. Dia tidak pernah menyentuhku walau hanya menjabat tanganku. Jujur segala kebutuhanku selalu dipenuhinya. Secara lahir dia selalu menafkahiku, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhan. Tapi soal biologis, Kak Arfan tak pernah sama sekali mengungkit- ungkitnya atau menuntutnya dariku. Bahkan yang tidak pernah kufahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar, Kak Arfan meminta maaf seolah merasa bersalah karena telah menyentuhku.

Ada apa dengan Kak Arfan? Apakah dia lelaki normal? Kenapa dia begitu dingin padaku? Apakah aku kurang di matanya? atau? Pendengar, jujur merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Ada apa dengan suamiku? Bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu bahwa menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajibannya? Ada apa dengannya? padahal setiap hari dia mengisi acara-acara keagamaan di mesjid. Dia begitu santun pada orang-orang dan begitu patuh kepada kedua orangtuanya. Bahkan terhadap aku pun hampir semua kewajibannya telah dia tunaikan dengan hikmah, tidak pernah sekali pun dia bersikap kasar dan berkata-kata keras padaku. Bahkan Kak Arfan terlalu lembut bagiku.

Tapi satu yang belum dia tunaikan yaitu nafkah batinku. Aku sendiri saat mendapat perlakuan darinya setiap hari yang begitu lembutnya mulai menumbuhkan rasa cintaku padanya dan membuatku perlahan-lahan melupakan masa laluku bersama Boby. Aku bahkan mulai merindukannya tatkala dia sedang tidak di rumah. Aku bahkan selalu berusaha menyenangkan hatinya dengan melakukan apa-apa yang dia anjurkannya lewat ceramah-ceramahnya pada wanita-wanita muslimah, yakni mulai memakai busana muslimah yang syar’i.

Memang dua hari setelah pernikahan kami, Kak Arfan memberiku hadiah yang diisi dalam karton besar. Semula aku mengira bahwa hadiah itu adalah alat-alat rumah tangga. Tapi setelah kubuka, ternyata isinya lima potong jubah panjang berwarna gelap, lima buah jilbab panjang sampai selutut juga berwana gelap, lima buah kaos kaki tebal panjang berwarna hitam dan lima pasang manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku sedikit tersinggung, sebab yang ada dalam bayanganku bahwa inilah konsekuensi menikah dengan seorang ustadz. Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya. Ternyata dugaanku salah sama sekali. Sebab hadiah itu tidak pernah disentuhnya atau ditanyakannya.

Kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan siapapun. Kukenakan busana itu agar diatahu bahwa aku mulai menganggapnya istimewa. Bahkan kebiasaannya sebelum tidur dalam mengajipun sudah mulai aku ikuti. Kadang ceramah-ceramahnya di mesjid sering aku ikuti dan aku praktekkan di rumah.

Tapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya. Entah mengapa hingga enam bulan pernikahan kami dia tidak pernah menyentuhku. Setiap masuk kamar pasti sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji, lalu tidur di atas hamparan permadani di bawah ranjang hingga terjaga lagi di sepertiga malam, lalu melaksanakan sholat Tahajud. Hingga suatu saat Kak Arfan jatuh sakit. Tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi. Aku sendiri bingung bagaimana cara menanganinya. Sebab Kak Arfan sendiri tidak pernah menyentuhku. Aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasa membantunya. Ya Allah..apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tapi apa yang harus saya lakukan ya Allah..

Malam itu aku tidur dalam kegelisahan. Aku tak bisa tidur mendengar hembusan nafasnya yang seolah sesak. Kudengar Kak Arfan pun sering mengigau kecil. Mungkin karena suhu panasnya yang tinggi sehingga ia selalu mengigau. Sementara malam begitu dingin, hujan sangat deras disetai angin yang bertiup kencang. Kasihan Kak Arfan, pasti dia sangat kedinginan saat ini. Perlahan aku bangun dari pembaringan dan menatapnya yang sedang tertidur pulas. Kupasangkan selimutnya yang sudah menjulur kekakinya. Ingin sekali aku merebahkan diriku di sampingnya atau sekedar mengompresnya. Tapi aku tak tahu bagaimana harus memulainya. Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya.

Tapi baru beberapa detik tanganku menyentuh kulit dahinya, Kak Arfan terbangun dan langsung duduk agak menjauh dariku sambil berujar ”Afwan dek, kau belum tidur? Kenapa ada di bawah? Nanti kau kedinginan? Ayo naik lagi ke ranjangmu dan tidur lagi, nanti besok kau capek dan jatuh sakit?” pinta kak Arfan padaku. Hatiku miris saat mendengar semua itu. Dadaku sesak, mengapa Kak Arfan selalu dingin padaku. Apakah dia menganggap aku orang lain. Apakah di hatinya tak ada cinta sama sekali untukku. Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali kulapkan dengan teriakan. Hingga akhirnya gemuruh di hatiku tak bisa kubendung juga.

”Afwan kak, kenapa sikapmu selama ini padaku begitu dingin? Kau bahkan tak pernah mau menyentuhku walaupun hanya sekedar menjabat tanganku? Bukankah aku ini istrimu? Bukankah aku telah halal buatmu? Lalu mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan kamarmu? Apa artinya diriku bagimu kak? Apa artinya aku bagimu kak? Kalau kau tidak mencintaiku lantas mengapa kau menikahiku? Mengapa kak? mengapa?” Ujarku disela isak tangis yang tak bisa kutahan.

Tak ada reaksi apapun dari Kak Arfan menanggapi galaunya hatiku dalam tangis yang tersedu itu. Yang nampak adalah dia memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel di dinding kamar kami. Hingga akhirnya dia mendekatiku dan perlahan berujar padaku:

”Dek, jangan kau pernah bertanya pada kakak tentang perasaan ini padamu. Karena sesungguhnya kakak begitu sangat mencintaimu. Tetapi tanyakanlah semua itu pada dirimu sendiri. Apakah saat ini telah ada cinta di hatimu untuk kakak? Kakak tahu dan kakak yakin pasti suatu saat kau akan bertanya mengapa sikap kakak selama ini begitu dingin padamu. Sebelumnya kakak minta maaf bila semuanya baru kakak kabarkan padamu malam ini. Kau mau tanyakan apa maksud kakak sebenarnya dengan semua ini?” ujar Kak Arfan dengan agak sedikit gugup.

“Iya tolong jelaskan pada saya Kak, mengapa kakak begitu tega melakukan ini padaku? tolong jelaskan Kak?” Ujarku menimpali tuturnya kak Arfan.

“Hhhhhmmm, Dek kau tahu apa itu pelacur? Dan apa pekerjaan seorang pelacur? Afwan dek dalam pemahaman kakak, seorang pelacur itu adalah seorang wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa peduli apakah di hatinya ada cinta untuk lelaki itu atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintainya. Bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak ingin hal itu terjadi padamu dek.

Kau istriku dek, betapa bejatnya kakak ketika kakak harus memaksamu melayani kakak dengan paksaan saat malam pertama pernikahan kita. Sedangkan di hatimu tak ada cinta sama sekali buat kaka. Alangkah berdosanya kakak, bila pada saat melampiaskan birahi kakak padamu malam itu, sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak tetapi ada lelaki lain. Kau tahu dek, sehari sebelum pernikahan kita digelar, kakak sempat datang ke rumahmu untuk memenuhi undangan Bapakmu. Tapi begitu kakak berada di depan pintu pagar rumahmu, kakak melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan pada kekasihmu Boby. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau tidak mencintai kakak. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau hanya akan mencintainya selamanya. Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah merampas kebahagiaanmu.

Kakak yakin bahwa kau menerima pinangan kakak itu karena terpaksa. Kakak juga mempelajari sikapmu saat di pelaminan. Begitu sedihnya hatimu saat bersanding di pelaminan bersama kakak. Lantas haruskah kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu. Sementara tanpa memperdulikan perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban kakak sebagai suamimu di malam pertama. Semenatara kau sendiri akan mematung dengan deraian air mata karena terpaksa melayani kakak?

Kau istriku dek, sekali lagi kau istriku. Kau tahu, kakak sangat mencintaimu. Kakak akan menunaikan semua itu manakala di hatimu telah ada cinta untuk kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu. Agar kau bisa menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila hari ini kau telah mencintai kakak. Kakak juga merasa bersyukur bila kau telah melupakan mantan kekasihmu itu. Beberapa hari ini kakak perhatikan kau juga telah menggunakan busana muslimah yang syar’i. Pinta kakak padamu dek, luruskan niatmu, kalau kemarin kau mengenakan busana itu untuk menyenangkan hati kakak semata. Maka sekarang luruskan niatmu, niatkan semua itu untuk Allah ta’ala selanjutnya untuk kakak.”

Mendengar semua itu, aku memeluk suamiku. Aku merasa bahwa dia adalah lelaki terbaik yang pernah kujumpai selama hidupku. Aku bahkan telah melupakan Boby. Aku merasa bahwa malam itu, aku adalah wanita yang paling bahagia di dunia. Sebab meskipun dalam keadaan sakit, untuk pertama kalinya Kak Arfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari kami lalui dengan bahagia. Kak Arfan begitu sangat kharismatik. Terkadang dia seperti seorang kakak buatku dan terkadang seperti orang tua. Darinya aku banyak belajar banyak hal. Perlahan aku mulai meluruskan niatku dengan menggunakan busana yang syar’i, semata-mata karena Allah dan untuk menyenangkan hati suamiku.

Sebulan setelah malam itu, dalam rahimku telah tumbuh benih-benih cinta kami berdua. Alhamdulillah, aku sangat bahagia bersuamikan dia. Darinya aku belajar banyak tentang agama. Hari demi hari kami lalui dengan kebahagiaan. Ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku bayangkan. Dulu aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak pinangannya. Aku fikir kebahagiaan itu akan berlangsung lama diantara kami, setelah lahir Abdurrahman, hasil cinta kami berdua.

Di akhir tahun 2008,  Kak Arfan mengalami kecelakaan dan usianya tidak panjang. Sebab Kak Arfan meninggal dunia sehari setelah kecelakaan tersebut. Aku sangat kehilangannya. Aku seperti kehilangan penopang hidupku. Aku kehilangan kekasihku. Aku kehilangan murobbiku, aku kehilangan suamiku. Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa kebahagiaan bersamanya begitu singkat. Yang tidak pernah aku lupakan di akhir kehidupannya Kak Arfan, dia masih sempat menasehatkan sesuatu padaku:

“Dek.. pertemuan dan perpisahan itu adalah fitrahnya kehidupan. Kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, kakak minta padamu Dek.., jaga Abdurrahman dengan baik. Jadikan dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama, senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat. Didik dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.

Satu permintaan kakak.., kalau suatu saat ada seorang pria yang datang melamarmu, maka pilihlah pria yang tidak hanya mencintaimu. Tetapi juga mau menerima kehadiran anak kita.

Maafkan kakak Dek.., bila selama bersamamu, ada kekurangan yang telah kakak perbuat untukmu. Senantiasalah berdoa.., kalau kita berpisah di dunia ini..Insya Allah kita akan berjumpa kembali di akhirat kelak . Kalau Allah mentakdirkan kakak yang pergi lebih dahulu meninggalkanmu, Insya Allah kakak akan senantiasa menantimu..”

Demikianlah pesan terakhir Kak Arfan sebelum keesokan harinya Kak Arfan meninggalkan dunia ini. Hatiku sangat sedih saat itu. Aku merasa sangat kehilangan. Tetapi aku berusaha mewujudkan harapan terakhirnya, mendidik dan menjaga Abdurrahman dengan baik. Selamat jalan Kak Arfan. Aku akan selalu mengenangmu dalam setiap doa-doaku, amiin. Wasallam”

NB : Kisah Nyata dari Akhwat di Gorontalo, Sulawesi Utara

sumber : akhwatmuslimah.com
ISTRI DIPAKSA MENIKAH TANPA CINTA, LAKI-LAKI INI BERSABAR TAK SENTUH ISTRINYA

ISTRI DIPAKSA MENIKAH TANPA CINTA, LAKI-LAKI INI BERSABAR TAK SENTUH ISTRINYA

Siapkan tisyu untuk membacanya..

Seorang akhwat menceritakan kenangan masa lalunya yang tak terlupakan:

“Namaku Mariani, orang-orang biasa memangilku Aryani. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum lengkang dalam benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Yah, sebuah perjalanan kisah yang sungguh aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa di dunia ini mungkin tak ada lagi orang seperti dia.

Tahun 2007 silam, aku dipaksa orang tuaku menikah dengan seorang pria, Kak Arfan namanya. Kak Arfan adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung denganku, tapi dia seleting dengan kakakku saat sekolah dulu. Usia kami terpaut 4 Tahun. Yang aku tahu bahwa sejak kecilnya Kak Arfan adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadah. Tabiatnya yang seperti itu terbawa-bawa sampai ia dewasa. Aku  merasa risih sendiri dengan Kak Arfan apabila berpapasan di jalan, sebab sopan santunnya sepertinya terlalu berlebihan pada orang-orang. Geli aku menyaksikannya, yah, kampungan banget gelagatnya…,

Setiap ada acara-acara ramai di kampung pun Kak Arfan tak pernah kelihatan bergabung sama teman-teman seusianya. Yaah, pasti kalau dicek ke rumahnya pun gak ada, orang tuanya pasti menjawab “Kak Arfan di mesjid nak, menghadiri taklim”. Dan memang mudah sekali mencari Kak Arfan, sejak lulus dari Pesantren Al-Khairat Kota Gorontalo.

Kak Arfan sering menghabiskan waktunya membantu orang tuanya jualan, kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Meskipun kadang sebagian teman sebayanya menyayangkan potensi dan kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan. Secara fisik memang Kak Arfan hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Sebab kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau Kak Arfan dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara di desa.

Tapi bagiku sendiri, itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa sosok Kak Arfan adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri taklim, kuper dan kampungan banget. Kadang hatiku sendiri bertanya, koq bisa yah, ada orang yang sekolah di kota namun begitu kembali tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaan melekat pada dirinya, HP gak ada. Selain bantu orang tua, pasti kerjanya ngaji, sholat, taklim dan kembali ke kerja lagi. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja, ke biosokop kek, ngumpul bareng teman-teman kek setiap malam minggunya di pertigaan kampung yang ramainya luar biasa setiap malam minggu dan malam Kamisnya. Apalagi setiap malam Kamis dan malam Minggunya ada acara curhat kisah yang TOP banget di sebuah station Radio Swasta digotontalo, kalau tidak salah ingat nama acaranya Suara Hati dan nama penyiarnya juga Satrio Herlambang.

Waktu terus bergulir dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata Pacaran, akupun demikian. Aku sendiri memiliki kekasih yang begitu sangat aku cintai, namanya Boby. Masa-masa indah kulewati bersama Boby. Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami. Hingga musibah itu tiba, aku dilamar oleh seorang pria yang sudah sangat aku kenal. Yah siapa lagi kalau bukan si kuper Kak Arfan lewat pamanku. Orang tuanya Kak Arfan melamarku untuk anaknya yang kampungan itu.

Mendengar penuturan mama saat memberitahu padaku tentang lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening…, aku berteriak sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu dengan tegas dan terbelit-belit aku sampaikan langsung pada kedua orang tuaku bahwa aku menolak lamaran keluarganya Kak Arfan. dan dengan terang-terangan pula aku sampaikan pula bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby.

Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh tersungkur kelantai. Akupun tak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat mama shock. Baru kutahu bahwa yang menyebabkan mama shok itu karena beliau sudah menerima secara resmi lamaran dari orang tuanya Kak Arfan. Hatiku sedih saat itu, kurasakan dunia begitu kelabu. Aku seperti menelan buah simalakama, seperti orang yang paranoid, tidak tahu harus ikut kata orang tua atau lari bersama kekasih hatiku Boby.
Hatiku sedih saat itu. Dengan berat hati dan penuh kesedihan aku menerima lamaran Kak Arfan untuk menjadi istrinya dan kujadikan malam terakhir perjumpaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan kesedihanku. Meskipun kami saling mencintai, tapi mau tidak mau Boby harus merelakan aku menikah dengan Kak Arfan. Karena dia sendiri mengakui bahwa dia belum siap membina rumah tangga saat itu.

Tanggal 11 Agustus 2007 akhirnya pernikahanku pun digelar. Aku merasa bahwa pernikahan itu begitu menyesakkan dadaku. Air mataku tumpah di malam resepsi pernikahan itu. Di tengah senyuman orang-orang yang hadir pada acara itu, mungkin akulah yang paling tersiksa. Karena harus melepaskan masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai. Dan yang paling membuatku tak bisa menahan air mataku, mantan kekasihku Boby hadir juga pada resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah mengapa semua ini harus terjadi padaku ya Allah… mengapa aku yang harus jadi korban dari semua ini?

Waktu terus berputar dan malam pun semakin merayap. Hingga usailah acara resepsi pernikahan kami. Satu per satu para undangan pamit pulang hingga sepi lah rumah kami. Saat masuk ke dalam kamar, aku tidak mendapati suamiku Kak Arfan di dalamnya. Dan sebagai seorang istri yang hanya terpaksa menikah dengannya, maka aku pun membiarkannya dan langsung membaringkan tubuhku setalah sebelumnya menghapus make-up pengantinku dan melepaskan gaun pengantinku. Aku bahkan tak perduli kemana suamiku saat itu. Karena rasa capek dan diserang kantuk, aku pun akhirnya tertidur.

Tiba-tiba di sepertiga malam, aku tersentak tatkala melihat ada sosok hitam yang berdiri disamping ranjang tidurku. Dadaku berdegup kencang. Aku hampir saja berteriak histeris, andai saja saat itu tak kudengar suara  takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri itu. Perlahan kuperhatikan dengan seksama, ternyata sosok yang berdiri di sampingku itu adalah Kak Arfan suamiku yang sedang sholat tahajud. Perlahan aku baringkan tubuhku sambil membalikkan diriku membelakanginya yang saat itu sedang sholat tahajud. Ya Allah aku lupa bahwa sekarang aku telah menjadi istrinya Kak Arfan. Tapi meskipun demikian, aku masih tak bisa menerima kehadirannya dalam hidupku. Saat itu karena masih dibawah perasan ngantuk, aku pun kembali teridur. Hingga pukul 04.00 dini hari, kudapati suamiku sedang tidur beralaskan sajadah di bawah ranjang pengantin kami.

Dadaku kembali berdetak kencang kala mendapatinya. Aku masih belum percaya kalau aku telah bersuami. Tapi ada sebuah pertanyaaan terbetik dalam benakku. Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku. Kalaupun dia belum ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang denganku itukan logikanya. Ada apa ini? ujarku perlahan dalam hati. Aku sendiri merasa bahwa mungkin malam itu Kak Arfan kecapekan sama sepertiku sehingga dia tidak mendatangiku dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi apa peduliku dengan itu semua, toh akupun tidak menginginkannya, gumamku dalam hati.

Hari-hari terus berlalu. Kami pun mejalani aktifitas kami masing-masing, Kak Arfan bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan aku di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku. Yah minimal menyediakan makanannya, meskipun kenangan-kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku, aku bahkan masih merindukannya.

Semula kufikir bahwa prilaku Kak Arfan yang tidak pernah menyentuhku dan menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi malam pernikahan kami. Tapi ternyata yang terjadi hampir setiap malam sejak malam pengantin itu, Kak Arfan selalu tidur beralaskan permadani di bawah ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar kami. Dia tidak pernah menyentuhku walau hanya menjabat tanganku. Jujur segala kebutuhanku selalu dipenuhinya. Secara lahir dia selalu menafkahiku, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhan. Tapi soal biologis, Kak Arfan tak pernah sama sekali mengungkit- ungkitnya atau menuntutnya dariku. Bahkan yang tidak pernah kufahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar, Kak Arfan meminta maaf seolah merasa bersalah karena telah menyentuhku.

Ada apa dengan Kak Arfan? Apakah dia lelaki normal? Kenapa dia begitu dingin padaku? Apakah aku kurang di matanya? atau? Pendengar, jujur merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Ada apa dengan suamiku? Bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu bahwa menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajibannya? Ada apa dengannya? padahal setiap hari dia mengisi acara-acara keagamaan di mesjid. Dia begitu santun pada orang-orang dan begitu patuh kepada kedua orangtuanya. Bahkan terhadap aku pun hampir semua kewajibannya telah dia tunaikan dengan hikmah, tidak pernah sekali pun dia bersikap kasar dan berkata-kata keras padaku. Bahkan Kak Arfan terlalu lembut bagiku.

Tapi satu yang belum dia tunaikan yaitu nafkah batinku. Aku sendiri saat mendapat perlakuan darinya setiap hari yang begitu lembutnya mulai menumbuhkan rasa cintaku padanya dan membuatku perlahan-lahan melupakan masa laluku bersama Boby. Aku bahkan mulai merindukannya tatkala dia sedang tidak di rumah. Aku bahkan selalu berusaha menyenangkan hatinya dengan melakukan apa-apa yang dia anjurkannya lewat ceramah-ceramahnya pada wanita-wanita muslimah, yakni mulai memakai busana muslimah yang syar’i.

Memang dua hari setelah pernikahan kami, Kak Arfan memberiku hadiah yang diisi dalam karton besar. Semula aku mengira bahwa hadiah itu adalah alat-alat rumah tangga. Tapi setelah kubuka, ternyata isinya lima potong jubah panjang berwarna gelap, lima buah jilbab panjang sampai selutut juga berwana gelap, lima buah kaos kaki tebal panjang berwarna hitam dan lima pasang manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku sedikit tersinggung, sebab yang ada dalam bayanganku bahwa inilah konsekuensi menikah dengan seorang ustadz. Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya. Ternyata dugaanku salah sama sekali. Sebab hadiah itu tidak pernah disentuhnya atau ditanyakannya.

Kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan siapapun. Kukenakan busana itu agar diatahu bahwa aku mulai menganggapnya istimewa. Bahkan kebiasaannya sebelum tidur dalam mengajipun sudah mulai aku ikuti. Kadang ceramah-ceramahnya di mesjid sering aku ikuti dan aku praktekkan di rumah.

Tapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya. Entah mengapa hingga enam bulan pernikahan kami dia tidak pernah menyentuhku. Setiap masuk kamar pasti sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji, lalu tidur di atas hamparan permadani di bawah ranjang hingga terjaga lagi di sepertiga malam, lalu melaksanakan sholat Tahajud. Hingga suatu saat Kak Arfan jatuh sakit. Tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi. Aku sendiri bingung bagaimana cara menanganinya. Sebab Kak Arfan sendiri tidak pernah menyentuhku. Aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasa membantunya. Ya Allah..apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tapi apa yang harus saya lakukan ya Allah..

Malam itu aku tidur dalam kegelisahan. Aku tak bisa tidur mendengar hembusan nafasnya yang seolah sesak. Kudengar Kak Arfan pun sering mengigau kecil. Mungkin karena suhu panasnya yang tinggi sehingga ia selalu mengigau. Sementara malam begitu dingin, hujan sangat deras disetai angin yang bertiup kencang. Kasihan Kak Arfan, pasti dia sangat kedinginan saat ini. Perlahan aku bangun dari pembaringan dan menatapnya yang sedang tertidur pulas. Kupasangkan selimutnya yang sudah menjulur kekakinya. Ingin sekali aku merebahkan diriku di sampingnya atau sekedar mengompresnya. Tapi aku tak tahu bagaimana harus memulainya. Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya.

Tapi baru beberapa detik tanganku menyentuh kulit dahinya, Kak Arfan terbangun dan langsung duduk agak menjauh dariku sambil berujar ”Afwan dek, kau belum tidur? Kenapa ada di bawah? Nanti kau kedinginan? Ayo naik lagi ke ranjangmu dan tidur lagi, nanti besok kau capek dan jatuh sakit?” pinta kak Arfan padaku. Hatiku miris saat mendengar semua itu. Dadaku sesak, mengapa Kak Arfan selalu dingin padaku. Apakah dia menganggap aku orang lain. Apakah di hatinya tak ada cinta sama sekali untukku. Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali kulapkan dengan teriakan. Hingga akhirnya gemuruh di hatiku tak bisa kubendung juga.

”Afwan kak, kenapa sikapmu selama ini padaku begitu dingin? Kau bahkan tak pernah mau menyentuhku walaupun hanya sekedar menjabat tanganku? Bukankah aku ini istrimu? Bukankah aku telah halal buatmu? Lalu mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan kamarmu? Apa artinya diriku bagimu kak? Apa artinya aku bagimu kak? Kalau kau tidak mencintaiku lantas mengapa kau menikahiku? Mengapa kak? mengapa?” Ujarku disela isak tangis yang tak bisa kutahan.

Tak ada reaksi apapun dari Kak Arfan menanggapi galaunya hatiku dalam tangis yang tersedu itu. Yang nampak adalah dia memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel di dinding kamar kami. Hingga akhirnya dia mendekatiku dan perlahan berujar padaku:

”Dek, jangan kau pernah bertanya pada kakak tentang perasaan ini padamu. Karena sesungguhnya kakak begitu sangat mencintaimu. Tetapi tanyakanlah semua itu pada dirimu sendiri. Apakah saat ini telah ada cinta di hatimu untuk kakak? Kakak tahu dan kakak yakin pasti suatu saat kau akan bertanya mengapa sikap kakak selama ini begitu dingin padamu. Sebelumnya kakak minta maaf bila semuanya baru kakak kabarkan padamu malam ini. Kau mau tanyakan apa maksud kakak sebenarnya dengan semua ini?” ujar Kak Arfan dengan agak sedikit gugup.

“Iya tolong jelaskan pada saya Kak, mengapa kakak begitu tega melakukan ini padaku? tolong jelaskan Kak?” Ujarku menimpali tuturnya kak Arfan.

“Hhhhhmmm, Dek kau tahu apa itu pelacur? Dan apa pekerjaan seorang pelacur? Afwan dek dalam pemahaman kakak, seorang pelacur itu adalah seorang wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa peduli apakah di hatinya ada cinta untuk lelaki itu atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintainya. Bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak ingin hal itu terjadi padamu dek.

Kau istriku dek, betapa bejatnya kakak ketika kakak harus memaksamu melayani kakak dengan paksaan saat malam pertama pernikahan kita. Sedangkan di hatimu tak ada cinta sama sekali buat kaka. Alangkah berdosanya kakak, bila pada saat melampiaskan birahi kakak padamu malam itu, sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak tetapi ada lelaki lain. Kau tahu dek, sehari sebelum pernikahan kita digelar, kakak sempat datang ke rumahmu untuk memenuhi undangan Bapakmu. Tapi begitu kakak berada di depan pintu pagar rumahmu, kakak melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan pada kekasihmu Boby. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau tidak mencintai kakak. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau hanya akan mencintainya selamanya. Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah merampas kebahagiaanmu.

Kakak yakin bahwa kau menerima pinangan kakak itu karena terpaksa. Kakak juga mempelajari sikapmu saat di pelaminan. Begitu sedihnya hatimu saat bersanding di pelaminan bersama kakak. Lantas haruskah kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu. Sementara tanpa memperdulikan perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban kakak sebagai suamimu di malam pertama. Semenatara kau sendiri akan mematung dengan deraian air mata karena terpaksa melayani kakak?

Kau istriku dek, sekali lagi kau istriku. Kau tahu, kakak sangat mencintaimu. Kakak akan menunaikan semua itu manakala di hatimu telah ada cinta untuk kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu. Agar kau bisa menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila hari ini kau telah mencintai kakak. Kakak juga merasa bersyukur bila kau telah melupakan mantan kekasihmu itu. Beberapa hari ini kakak perhatikan kau juga telah menggunakan busana muslimah yang syar’i. Pinta kakak padamu dek, luruskan niatmu, kalau kemarin kau mengenakan busana itu untuk menyenangkan hati kakak semata. Maka sekarang luruskan niatmu, niatkan semua itu untuk Allah ta’ala selanjutnya untuk kakak.”

Mendengar semua itu, aku memeluk suamiku. Aku merasa bahwa dia adalah lelaki terbaik yang pernah kujumpai selama hidupku. Aku bahkan telah melupakan Boby. Aku merasa bahwa malam itu, aku adalah wanita yang paling bahagia di dunia. Sebab meskipun dalam keadaan sakit, untuk pertama kalinya Kak Arfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari kami lalui dengan bahagia. Kak Arfan begitu sangat kharismatik. Terkadang dia seperti seorang kakak buatku dan terkadang seperti orang tua. Darinya aku banyak belajar banyak hal. Perlahan aku mulai meluruskan niatku dengan menggunakan busana yang syar’i, semata-mata karena Allah dan untuk menyenangkan hati suamiku.

Sebulan setelah malam itu, dalam rahimku telah tumbuh benih-benih cinta kami berdua. Alhamdulillah, aku sangat bahagia bersuamikan dia. Darinya aku belajar banyak tentang agama. Hari demi hari kami lalui dengan kebahagiaan. Ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku bayangkan. Dulu aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak pinangannya. Aku fikir kebahagiaan itu akan berlangsung lama diantara kami, setelah lahir Abdurrahman, hasil cinta kami berdua.

Di akhir tahun 2008,  Kak Arfan mengalami kecelakaan dan usianya tidak panjang. Sebab Kak Arfan meninggal dunia sehari setelah kecelakaan tersebut. Aku sangat kehilangannya. Aku seperti kehilangan penopang hidupku. Aku kehilangan kekasihku. Aku kehilangan murobbiku, aku kehilangan suamiku. Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa kebahagiaan bersamanya begitu singkat. Yang tidak pernah aku lupakan di akhir kehidupannya Kak Arfan, dia masih sempat menasehatkan sesuatu padaku:

“Dek.. pertemuan dan perpisahan itu adalah fitrahnya kehidupan. Kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, kakak minta padamu Dek.., jaga Abdurrahman dengan baik. Jadikan dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama, senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat. Didik dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.

Satu permintaan kakak.., kalau suatu saat ada seorang pria yang datang melamarmu, maka pilihlah pria yang tidak hanya mencintaimu. Tetapi juga mau menerima kehadiran anak kita.

Maafkan kakak Dek.., bila selama bersamamu, ada kekurangan yang telah kakak perbuat untukmu. Senantiasalah berdoa.., kalau kita berpisah di dunia ini..Insya Allah kita akan berjumpa kembali di akhirat kelak . Kalau Allah mentakdirkan kakak yang pergi lebih dahulu meninggalkanmu, Insya Allah kakak akan senantiasa menantimu..”

Demikianlah pesan terakhir Kak Arfan sebelum keesokan harinya Kak Arfan meninggalkan dunia ini. Hatiku sangat sedih saat itu. Aku merasa sangat kehilangan. Tetapi aku berusaha mewujudkan harapan terakhirnya, mendidik dan menjaga Abdurrahman dengan baik. Selamat jalan Kak Arfan. Aku akan selalu mengenangmu dalam setiap doa-doaku, amiin. Wasallam”

NB : Kisah Nyata dari Akhwat di Gorontalo, Sulawesi Utara

sumber : akhwatmuslimah.com