Saturday, 11 July 2015

ASAL USUL KITAB KUNING

Kitab Kuning adalah simbol tradisi intelektual di lingkungan pesantren. Ia menjadi wahana penyebaran ajaran Islam yang dirumuskan para ulama masa lalu, kepada para pelajar di masa kini. Lantas, sebetulnya apakah yang dimaksud dengan Kitab Kuning itu? Tulisan ini coba membahasnya.

Istilah Kitab Kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada yang merendahkan (peyoratif). Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan jaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Pada mulanya sangat menyakitkan memang, tapi kemudian nama Kitab Kuning diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.

Meskipun sebagian besar kalangan pesantren sudah bisa menerimanya, namun masih terdapat sebagian yang lain yang mempersoalkan istilah Kitab Kuning tersebut. Kelompok yang terakhir ini mengusulkan istilah lain yang lebih apresiatif untuk menyebut Kitab Kuning, misalnya dengan nama kitab klasik, al kutub al qadimah.

Sementara yang pengertian yang beredar di kalangan pemerhati masalah kepesantrenan adalah bahwa Kitab Kuning merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Mereka memberikan definisi yang lebih rinci bahwa yang termasuk Kitab Kuning adalah kitab-kitab yang:
a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia;
b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan
c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut al kutub al qodimah (kitab-kitab klasik). Sedangkan kategori kedua disebut al kutub al ashriyyah (kitab-kitab modern). Perbedaan yang pertama dari yang kedua, antara lain dicirikan oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, kalsik dan tanpa syakl (baca: sandangan; fathah, dlammah, kasrah. Apa yang disebut Kitab Kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, al kutub al qadimah.

Selain nama itu, karena tidak dilengkapi dengan sandangan, Kitab Kuning juga kerap disebut oleh kalangan pesantren sebagai “kitab gundul”, dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, Kitab Kuning itupun tidak luput dari sebutan kitab kuno.

Spesifikasi Kitab Kuning secara umum terletak pada formatnya, yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin, baik sebelah kanan maupun kiri), sementara syarh karena penuturannya lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, - ia diletakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan Kitab Kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (kuarto).

Ciri khas lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total, artinya tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilihat setiap kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman), yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu Kitab Kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu saja sebagai bagian yang akan dipelajari bersama sang Kyai.

Selain itu, yang membedakan Kitab Kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari Kitab Kuning: metode sorogan dan metode bandungan. Cara yang pertama, santri membacakan Kitab Kuning di hadapan Kyai dan sang Kyai langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharaf).

Sedangkan cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang Kyai sambil masing-masing memberi catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafy), memiliki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharf) yang ketat.

Selain dengan kedua metode di atas, dewasa ini – sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian Kitab Kuning – di lingkungan pesantren telah berkembang metode jalsah (diskusi [kelompok] partisipatoris) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat kyai atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari Kitab Kuning.


SHARE THIS

Facebook Comment

0 comments: